Pages

Rabu, 31 Maret 2010

Nahdlotul Ulama(NU)


NU atau Nahdlotul Ulama,tentunya teman-teman tak asing lagi dengan kata nama tersebut....
apakah teman-teman tau bagaimana asal sejarah NU begini:

ppiindia

* Thread right arrow
* Date right arrow
* Find

[ppiindia] Asal Mula NU

RG Nur Rahmat
Sun, 05 Dec 2004 21:05:13 -0800


Didirikannya NU untuk Apa



Untuk apa dan kenapa NU didirikan? Masalah ini sering jadi bahan pertanyaan
bagi orang-orang, lebih-lebih ketika ada masalah-masalah yang janggal ataupun
mencengangkan bagi masyarakat, sedang masalah itu timbul atau dilakukan oleh
orang-orang NU. Bahkan di kalangan NU, hatta pemimpinnya ataupun elitnya pun
perlu mencurahkan tenaga dan fikiran secara tersendiri untuk menjawab ataupun
menangkis pandangan orang tentang untuk apa sebenarnya NU didirikan.
Sebagaimana Abdurrahman Wahid telah berupaya menulis artikel untuk menangkis
sebisa-bisanya tentang pandagan para sejarawan tentang berdirinya NU.

Oleh karena itu, setelah dikemukakan upaya Gus Dur/ Abdurrahman Wahid dalam
menangkis pandangan para sejarawan, maka kini pada gilirannya ditampilkan
penuturan para sejarawan mengenai kenapa NU didirikan.

Karel A. Steenbrink menulis seputar berdirinya NU sebagai berikut:

Ketika di Surabaya didirikan panitia yang berhubungan dengan penghapusan
khalifah di Turki[1] Kyai Haji Abdul Wahab Hasbullah (yang nantinya mendirikan
NU, pen) juga menjadi anggota bersama Mas Mansur (tokoh yang masuk
persyarikatan Muhammadiyah sejak 1922, pen). Beberapa rencana panitia ini untuk
menghadiri muktamar dunia Islam[2] tertunda, karena terjadi peperangan Wahabi
di Saudi Arabia.

Beberapa waktu kemudian muktamar tersebut terlaksana meski dalam bentuk yang
berbeda. Pada saat itu Kyai Haji Abdul Wahab Hasbulah mengundurkan diri dari
kepanitiaan. Pengunduran diri itu disebabkan dia tidak jadi dikirim sebagai
utusn karena pengetahuan bahasa yang kurang, di samping pengalaman dunia yang
tidak cukup luas. Menurut kelompok lainnya, dia tidak dikirim karena dia akan
membela kemerdekaan mazhab Syafi’i di kota Mekkah yang saat itu dikuasai
Wahabi. Dan memang, yang dikirim ke Mekkah hanyalah mereka yang menolak taqlid
dan dicap Wahabi, termasuk di antaranya Mas Mansur[3]
Karel A Steenbrink melanjutkan tulisannya: “Abdul Wahab Hasbullah kemudian
membentuk panitia sendiri yang bernama “Comite merembuk Hijaz.” Bermula dari

---------------------------------

[1] Pada tahun 1924 kekhalifahan di Turki dihapuskan oleh pemerintahan Mustafa
Kemal Attaturk yang sekuler dengan menamakan pemerintahannya Republik Turki,
diproklamirkan 19 Oktober 1923. Langkah pertama sekulerisasi adalah penghapusan
Islam sebagai agama resmi negara, kedua penghapusan lembaga kesultanan, dan
berikutnya penghapusan kekhalifahan, menyusul digantinya syari’at Islam dengan
hukum positif ala Barat. Lalu digantinya huruf Arab dengan huruf Latin dan
dilarangnya “pakaian Arab”. Rakyat Turki, terutama aparat pemerintah, harus
menggunakan pakaian ala Eropa. Bacaan ibadah harus menggunakan bahasa Turki,
namun tidak berlangsung lama, karena protes datang dari berbagai ulama di dalam
maupun luar negeri. (lihat Leksikon Islam, Pustazet Perkasa, Jakarta, 1988,
jilid 2, halaman 733).


[2] Muktamar Dunia Islam itu disebut Kongres Khilafah yang akan diadakan di
Kairo pada bulan Maret 1925. Kongres luar biasa di Surabaya (Desember 1924,
yang diikuti Wahab Hasbullah tersebut di atas, pen) membicarakan perutusan
Indonesia ke Kongres Khilafah di Kairo. Lalu dalam bulan Agustus 1925 diadakan
kongres bersama SI (Sarikat Islam) – Al-Islam di Yogyakarta. Cokroaminoto (dari
CSI) dan KH Mas Mansur (dari Muhammadiyah) ditunjuk sebagai utusan Komite
Kongres Al-Islam yang akan diadakan pada 1 Juni 1926 di Makkah atas prakarsa
Raja Ibn Sa’ud. Soal pemerintahan di Makkah dan Madinah akan menjadi acara.
(Lihat Leksikon Islam, 1, halaman 340).


[3] Karel A. Steenbrink, Pesantren Madrasah Sekolah Pendidikan Islam dalam
Kurun Moderen, LP3ES, Jakarta, cetakan pertama, 1986, halaman 67, merujuk pula
pada Sekaly, Les deux congres generaux de 1926. Pada saat itu gelar Wahabi
diberikan kepada semua kamum ”modernis”, yang tidak lagi mau terikat kepada
mazhab tertentu. Orang Syafi’i takut, bahwa maqam Imam Syafi’i akan dibongkar
dan bahwa ajarannya tidak lagi boleh diajarkan di Mekkah, padahal Mekkah untuk
kelompok tradisional pada waktu itu tetap merupakan perguruan yang paling
disukai.



komite ini, pada tanggal 31 Januari 1926 didirikan Nahdlatul Ulama. Nahdlatul
Ulama (NU) memang muncul sebagai protes terhadap gerakan reformasi, juga dari
kebutuhan untuk mempunyai organisasi yang membela mazhab Syafi’i dan menyaingi
organisasi Muhammadiyah dan Al-Irsyad. Memang, tiga tahun kemudian Wahab
Hasbullah bersama kawan-kawannya dari NU berangkat ke Mekkah untuk membicarakan
persoalan yang berhubungan dengan ibadat dan pengajaran agama menurut mazhab
Syafi’i. Pada saat itu, Raja Ibnu Saud menjanjikan tidak akan bertindak terlalu
keras dan memahami keinginan NU tersebut.”[1]

Kalau ungkapan itu dikemukakan oleh peneliti Belanda, ternyata persepsi yang
hampir sama ditulis pula oleh peneliti Indonesia, H Endang Saifuddin Anshari MA
seperti yang ia tulis:

“Pada tanggal 31 Januari 1926 Nahdlatul Ulama didirikan di Surabaya, di
bawah pimpinan Syaikh Hasyim Asy’ari, sebagai reaksi terhadap gerakan
pembaharuan yang dibawa terutama oleh Muhammadiyah dan lain-lain. Usahanya
antara lain memperkembangkan dan mengikuti salah satu dari keempat mazhab fiqh.
Tahun 1952 memisahkan diri dari Masyumi dan sejak itu resmi menjadi Partai
Politik Islam.”[2]

Kegiatan politik praktis NU mulai surut ketika memfusikan diri ke dalam PPP
(Partai Persatuan Pembangunan) 1973. Lalu ditegaskan bahwa NU bukan wadah bagi
kegiatan politik praktis dalam Munas (Musyawarah Nasional)nya di Situbondo Jawa
Timur 1983, dan diperkuat oleh Muktamar NU 1984 yang secara eksplisit menyebut
NU meninggalkan kegiatan politik praktisnya.

Dalam Muktamar ke-27 di Situbondo, NU dengan tegas menerima asas tunggal
Pancasila dan menyatakan kembali kepada khittah 1926 yang berarti meninggalkan
kegiatan politik praktis.[3]

Perkembangan berikutnya, pada bulan Juni 1998, PBNU memfasilitasi lahirnya
PKB (Partai Kebangkitan Bangsa). Kebijakan tersebut mengundang pro dan kontra
di kalangan warga NU sendiri. Akibatnya, lahirlah Partai Nahdlatul Ummat (PNU),
Partai Kebangkitan Umat (PKU), dan Partasi Solidaritas Uni Nasional Indonesia
(SUNI). Sementara itu, sebagian cukup besar warga NU yang lain tetap bertahan
di Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Golkar.

Perkembangan berikutnya lagi, Ketua Umum PBNU Abdurrahman Wahid terpilih
sebagai presiden RI. Melalui Muktamar pada Nopember 1999, Abdurrahman Wahid
lengser sebagai ketua umum PBNU, yang telah dijabatnya selama 15 tahun.
Kepemimpinan beralih dari ‘duet’ KH Ilyas Rucjhiat-KH Abdurrahman Wahid ke
tangan KHMA Sahal Mahfudz- (Rais Aam Syuriyah PBNU)-KH Hasyim Muzadi (Ketua
Umum Tanfidziyah PBNU).[4]



Musykilat seputar berdirinya NU

Kembali pada persoalan awal, Untuk melacak lebih cermat tentang sebenarnya
untuk apa didirikannya NU, perlu disimak apa yang ditulis oleh Dr Deliar Noer.
Menurutnya, penghapusan kekhalifahan di Turki menimbulkan kebingungan pada
dunia Islam pada umumnya, yang mulai berfikir tentang pembentukan suatu
khilafat baru. Masyarakat Islam Indonesia bukan saja berminat dalam masalah
ini, malah merasa berkewajiban memperbincangkan dan mencari penyelesaiannya.
Kebetulan


---------------------------------

[1] Steenbrink, ibid, halaman 68.


[2] H Endang Saifuddin Anshari, MA, Wawasan Islam, Rajawali, Jakarta, cetakan
pertama, 1986, halaman 263- 264.


[3] Leksikon Islam, 2, halaman 520.


[4] M Said Budairy, 75 Tahun NU, Ujian Berat Khittah, Republika, Rabu 31
Januari 2001, halaman 6.



Mesir bermaksud mengadakan kongres tentang khilafat pada bulan Maret 1924, dan
sebagai sambutan atas maksud ini suatu Komite Khilafat didirikan di Surabaya
tanggal 4 Oktober 1924 dengan ketua Wondosudirdjo (kemudian dikenal dengan nama
Wondoamiseno) dari Sarekat Islam dan wakil ketua KHA Wahab Hasbullah. Kongres
Al-Islam ketiga di Surabaya bulan Desember 1924 antara lain memutuskan untuk
mengirim sebuah delegasi ke Kongres Kairo, terdiri dari Surjopranoto (Saerkat
Islam), Haji Fachruddin (Muhammadiyah) serta KHA Wahab dari kalangan tradisi.

Tetapi kongres di Kairo itu ditunda[1], sedangkan minat orang-orang Islam di
Jawa tertarik lagi pada perkembangan di Hijaz di mana Ibnu Sa’ud berhasil
mengusir Syarif Husein dari Mekkah tahun 1924. Segera setelah menangani ini
pemimpin Wahabi itu mulai melakukan pembersihan dalam kebiasaan praktek
beragama sesuai dengan ajarannya, walaupun ia tidak melarang pelajaran mazhab
di Masjid al-Haram. Tindakannya ini sebagian mendapat sambutan baik di
Indonesia, tetapi sebagian juga ditolak. Tetapi dengan kemenangan Ibnu Sa’ud
ini, baik Mekkah maupun Kairo berebut kedudukan khalifah.[2]

Suatu undangan dari Ibnu Sa’ud kepada kaum Islam di Indoesia untuk
menghadiri kongres di Mekkah dibicarakan di kongres Al-Islam keempat di
Yogyakarta (21-27 Agustus 1925) dan di kongres Al-Islam kelima di Bandung (6
Februari 1926). Kedua kongres ini kelihatannya didominasi oleh golongan
pembaharu Islam. Malah sebelum kongres di Bandung suatu rapat antara
organisasi-organisasi pembaharu di Cianjur, Jawa Barat (8-10 Januari 1926)
telah memutuskan untuk mengirim Tjokroaminoto dari Sarekat Islam dan Kiyai Haji
Mas Mansur dari Muhammadiyah ke Mekkah untuk mengikuti kongres.

Pada kongres di Bandung yang memperkuat keputusan rapat di Cianjur, KHA
Abdul Wahab (Hasbullah, pen) atas nama kalangan tradisi memajukan usul-usul
agar kebiasaan-kebiasaan agama seperti membangun kuburan, membaca do’a seperti
dalail al-khairat[3], ajaran mazhab, dihormati oleh kepala negeri Arab yang
baru dalam negaranya, termasuk di Mekkah dan Madinah. Kongres di Bandung itu
tidak menyambut baik usul-usul (Wahab Hasbullah) ini, sehingga Wahab dan tiga
orang penyokongnya keluar dari Komite Khilafat tersebut di atas. Wahab
selanjutnya mengambil inisiatif untuk mengadakan rapat-rapat kalangan ulama
Kaum Tua, mulanya ulama dari Surabaya, kemudian juga dari Semarang, Pasuruan,
Lasem dan Pati. Mereka bersepakat untuk mendirikan suatu panitia yang disebut
Komite Merembuk Hijaz. Komite inilah yang diubah menjadi Nahdlatul Ulama pada
suatu


---------------------------------

[1] Deliar Noer mengutip Bendera Islam, 22 Januari 1925. Konferensi tersebut
ditunda oleh karena peperangan masih berkecamuk di Hijaz, sehingga akan sukar
bagi negeri Arab ini untuk datang. Lagi pula, beberapa negeri Islam lain
meminta panitia bersangkutan di Kairo untuk mendapat berbagai macam keterangan
tentang konferensi dan agar mengirim missi ke negeri-negeri tersebut. Di
samping itu Mesir juga menghadapi pemilihan umum.


[2] Deliar Noer, Gerakan Moderen Islam di Indonesia 1900-1942, LP3ES, Jakarta,
cetakan ketiga, 1985, halaman 242-243.




[3] Menurut catatan Deliar Noer, ini merupakan koleksi do’a yang berasal dari
seorang mistikus Afrika Utara di abad ke-15, Al-Jazuli. Taha Husein, seorang
pengarang terkenal di Mesir dan pernah menjadi menteri pendidikan negeri
tersebut, ketika masa mudanya menjadi murid Muhammad Abduh di Al-Azhar, pernah
mengecam ayahnya membaca Dalail al-Khairat. Katanya ini menyebabkan “waktu
terbuang secara bodoh”. Lihat Taha Husein, Al-Ayyam, II (Kairo: Dar al-Maarif,
tiada tanggal), hal. 123. Lihat pula masalah Dalail al-Khairat pada buku yang
Anda baca ini selanjutnya.



rapat di Surabaya tanggal 31 Januari 1926. Rapat ini masih tetap menempatkan
masalah Hijaz sebagai pokok pembicaran utama.[1]

Deliar Noer menjelaskan suara Kaum Tua (NU, organisasi baru muncul) sebagai
berikut:

Bani Sa’ud An-Nadjdi di zaman dahulu terkenal dengan aliran Wahabi yang
dipelopori oleh Muhammad bin Abdul Wahab, menurut kitab-kitab tarikh... Belum
lagi diketahui dengan pasti aliran apa yang dianut Raja Sa’ud sekarang (masih
Wahabi atau bermazhab empat), tetapi khabar mutawatir menyebutkan mereka
merusak pada qubah-qubah, melarang Dalail al-Khairat dan sebagainya.

...Kita kaum Muslimin, meskipun kaum tua, juga ada merasa ada mempunyai hak
yang berhubungan dengan tanah (suci) dalam hal agama, karena di situ ada Qiblat
dan (tempat) kepergian haji kita dan beberapa bekas-bekas Nabi kita bahkan
quburannya juga. Walhal, kita ada anggap Sunnat-Muakkad ziarah di mana qubur
tersebut.[2]

Organiasi baru ini (NU) menekankan keterikatannya pada mazhab Syafi’i dan
memutuskan untuk berusaha sungguh-sungguh guna menjaga langsungnya kebiasaan
bermazhab di Mekkah dan di Indonesia. Sebaliknya dikatakan bahwa tidak
terkandung maskud apapun untuk menghalangi mereka yang tidak mau mengikuti
mazhab Syafi’i.

Rapat (komite Hijaz/ NU) bulan Januari 1926 itu memutuskan untuk mengirim
dua orang utusan menghadap Raja Ibnu Sa’ud untuk mempersembahkan pendapat
organisasi tentang masalah mazhab, serta juga mengadakan seruan kepada raja
tersebut untuk mengambil langkah-langkah guna kepentingan mazhab serta
memperbaiki keadaan perjalanan haji.(Utusan itu akan terdiri dari Kiyai Haji
Khalil dari Lasem dan Kiyai Haji Abdul Wahab dari Surabaya. Menurut Bintang
Islam, IV, 1926, No 6, hal 96-98, Nahdlatul Ulama akan meminta Ibnu Sa’ud agar:

... tidak melarang kepada siapapun orang yang menjalankan mazhab Syafi’i.

...melarang atau sehingga menyiksa barang siapa yang mengganggu atau
menghalang-halangi perjalanannya mazhab Syafi’i.

...menetap adakan angkatan ziarah ke Medinah al-Munawarah dan ziarah di
beberapa quburnya syuhada dan bekas-bekas mereka itu.

...tidak mengganggu orang yang menjalankan wirid zikir yang benar atau wirid
membaca Dalail al-Khairat atau Burdah atau mengaji kitab fiqh mazhab Syafi’i,
seperti Tuhfah, Nihayah, Bajah.

... memelihara qubur Rasulullah saw sebagaimana yang sudah-sudah.

...jangan sampai merusak qubah-qubahnya syuhada...dan qubahnya aulia atau
ulama...

...mengadakan tarif biaya barang-barang atau orang-orang yang masuk pada
pelabuhan Jeddah dan tarif ongkos-ongkosnya orang haji mulai Jeddah terus
Madinah...

...melarang Syeikh-syeikh haji Mekkah turun (datang) ke Tanah Jawa perlu
mencari jama’ah haji sebab jalan yang demikian itu menghilangkan kehebatan
Tanah Mekah dan kemudian umumnya orang-orang Mekkah, serta menjadikan tambahnya
ongkos-ongkos...., lebih utama dalam pemerintahan mengadakan satu Komite
pengurus haji di Mekkah).[3]

Suatu odiensi dengan Raja Ibnu Sa’ud juga diminta dengan perantaraan
Konsulat Belanda di Jeddah, tetapi kedua orang utusan itu tak dapat berangkat
karena terlambat


---------------------------------

[1] Deliar Noer, ibid, halaman 243, mengutip Utusan Nahdlatul Ulama, Tahun I
No. I (1 Rajab 1347H; yaitu 14 Desember 1928), hal 9.


[2] Deliar, ibid hal 244, mengutip Utusan Nahdlatul Ulama, ibid, hal 9.


[3] Deliar, ibid, hal 244.



memesan tempat di kapal. Sebagai gantinya Nahdlatul Ulama mengawatkan isi
keputusan rapat mereka kepada kepala negara Saudi dengan tambahan permintaan
agar isi keputusan ini dapat dimasukkan ke dalam undang-undang Hijaz.

Tidak ada jawaban terhadap permintaan ini. Dalam pada itu Nahdlatul Ulama
beranggapan bahwa kongres Islam di Mekkah tahun 1926 yang dihadiri oleh
Tjokroaminoto dan Mansur sebagai suatu “kegagalan” oleh sebab itu tidak ada
sebuah pun masalah agama dibicarakan.

Tak lama sesudah kongres Al-Islam keenam di Surabaya dalam bulan September
1926 (kongres ini mengubah kedudukannya menjadi cabang kongres Islam di
Mekkah), Nahdlatul Ulama melahirkan sikap tidak setujunya dengan kongres
tersebut serta terhadap pemerintahan Ibnu Sa’ud. Organisasi ini (NU) malah
menghasut kaum Muslimin agar membenci ajaran Wahabi serta penguasanya di Tanah
Suci, dan menyarankan orang-orang agar jangan pergi naik haji.[1]

Tetapi pada tahun berikutnya Nahdlatul Ulama mengutus delegasi ke Mekkah.
Pada tanggal 27 Maret 1928 Nahdlatul Ulama mengumumkan bahwa Abdul Wahab dan
Ustadz Ahmad Ghanaim Al-Amir (Al-Misri) akan pergi ke Mekkah sebagai perutusan
mereka. Dalam bulan itu juga keduanya berangkat; Abdul Wahab singgah di
Singapur untuk mempropagandakan pendiriannya di kalangan orang Islam di Pulau
itu, dan sampai di Tanah Suci tanggal 17 April 1928. Pada tanggal 13 Juni 1928
mereka diterima oleh Raja. Pada kesempatan ini kedua utusan tersebut juga
meminta Raja Ibnu Sa’ud agar membuat hukum yang tetap di Hijaz. Mereka mohon
jawaban terhadap seruan mereka.

Dalam jawabannya, berupa surat, Raja mengatakan bahwa perbaikan di Hijaz
memang merupakan kewajiban tiap pemerintahan di negeri itu. Ia menambahkan akan
memperbaiki keadaan perjalanan haji sejauh perbaikan ini tidak melanggar
ketentuan Islam. Ia juga sependapat bahwa kaum Muslimin bebas dalam menjalankan
poraktek agama dan keyakinan mereka, kecuali urusan yang Tuhan Allah
mengharamkan dan tiada terdapat sesuatu dalil dari Kitab-Nya Tuhan Allah dan
tiada sunnat Rasulullah saw, dan tidak ada dalam mazhabnya orang dulu-dulu yang
saleh-saleh, dan tidak dari sabda salah satu imam empat.[2]



Surat resmi balasan Raja Saudi kepada NU

Untuk menghindari berbagai interpretasi dari berita-berita yang berkembang
tentang isi surat Raja Ibn Sa’ud, baik dari kalangan NU maupun non NU, maka di
sini dikutip secara utuh surat resmi Raja Saudi kepada NU:


ÈÓã Çááå ÇáÑÍãä ÇáÑÍíã


KERAJAAN HIJAZ, NEJD DAN SEKITARNYA


---------------------------------

[1] Deliar Noer, ibid, halaman 245


[2] Surat ini bertanggal 24 Zulhijjah 1346 H (13 Juni 1928), No 2082, Lihat
Utusan Nahdlatul Ulama, Tahun 1, No 1, dikutip Deliar Noer, halaman 246.


Nomor: 2082 – Tanggal 24 Dzulhijjah 1346H. Dari : Abdul Aziz bin Abdur Rahman
Al-FaisalKepada Yth. Ketua Organisasi Nahdlatul Ulama di JawaSyaikh Muhammad
Hasyim Asy’ari dan Sekretarisnya Syaikh Alawi bin Abdul Aziz ( semoga Allah
melindungi mereka). ÇáÓáÇã Úáíßã æÑÍãÉ Çááå æÈÑßÇÊå.


Surat saudara tertanggal 5 Syawwal 1346H telah sampai kepada kami. Apa yang
saudara sebutkan telah kami fahami dengan baik, terutama tentang rasa iba
saudara terhadap urusan ummat Islam yang menjadi perhatian suadara, dan
delegasi yang saudara tugaskan yaitu H. Abdul Wahab, Sekretaris I PBNU, dan
Ustadz Syaikh Ahmad Ghanaim Al-Amir, Penasihat PBNU telah kami terima dengan
membawa pesan-pesan dari saudara.

Adapun yang berkenaan dengan usaha mengatur wilayah Hijaz, maka hal itu
merupakan urusan dalam negeri Kerajaan Saudi Arabia, dan Pemerintah dalam hal
itu berusaha semaksimal mungkin untuk memberikan segala kemudahan bagi jemaah
haji di Tanah Suci, dan tidak pernah melarang seorang pun untuk melakukan amal
baik yang sesuai dengan Syari’at Islam.

Adapun yang berkenaan dengan kebebasan orang, maka hal itu adalah merupakan
suatu kehormatan, dan alhamdulillah, semua Ummat Islam bebas melakukan urusan
mereka, kecuali dalam hal-hal yang diharamkan Allah, dan tidak ada dalil yang
menghalalkan perbuatan tersebut, baik dari Al-Qur’an, Sunnah, Mazhab Salaf
Salih dan dari pendapat Imam empat Mazhab. Segala hal yang sesuai dengan
ketentuan tersebut, kami lakukan dan kami laksanakan, sedang hal-hal yang
menyelisihinya, maka tidak boleh taat untuk melakukan perbuatan maksiat kepada
Allah Maha Pencipta.

Tujuan kita sebenarnya adalah da’wah kepada apa yang dalam Kitabullah dan
Sunnah Rasulullah saw dan inilah agama yang kami lakukan kepada Allah.
Alhamdulillah kami berjalan sesuai dengan faham ulama Salaf yang Salih, mulai
dari Sahabat Nabi hingga Imam empat Mazhab.

Kami memohon kepada Allah semoga memberi taufiq kepada kita semua ke jalan
kebaikan dan kebenaran serta hasil yang baik. Inilah yang perlu kami jelaskan.
Semoga Allah melindungi saudara semua.



ÇáÓáÇã Úáíßã æÑÍãÉ Çááå æÈÑßÇÊå.
Tanda tangan dan stempel[1]


Demikianlah surat Raja Abdul Aziz membalas surat Ketua PBNU, 13 Juni
1928, 24 Dzulhijjah 1346H.



















































(Gambar surat Raja/ scan surat)





















Masalah Kitab Dalail al-Khairat

Nahdlatul Ulama, baik secara perorangan kiyai-kiyainya maupun secara
organisasi, dalam sejarahnya telah dengan gigih mempertahankan wiridan dengan
membaca Kitab Dalail al-Khairat. “Perjuangan” mereka itu bukan hanya di
Indonesia di depan kalangan kaum pembaharu, namun bahkan sampai ke Raja Saudi
dengan jalan mengirimkan surat yang di antara isinya mempertahankan wiridan
dari kitab karangan orang mistik./ shufi dari Afrika Utara, Al-Jazuli itu.
Meskipun demikian, kaum pembaharu di Indonesia tidak menggubris upaya-upaya
kaum Nahdliyin/ NU itu. Demikian pula Raja Saudi tidak menjawabnya secara
khusus tentang Kitab Dalail al-Khairat itu.

Untuk memudahkan pembaca, maka di sini diturunkan fatwa tentang boleh
tidaknya membaca atau mewiridkan Kitab Dalail al-Khairat itu dari Lajnah Daimah
kantor Penelitian Ilmiyah dan Fatwa di Riyadh. Ada pertanyaan dan kemudian ada
pula jawabannya, dikutip sebagai berikut:



Soal kelima dari Fatwa nomor 2392:

Soal 5: Apa hukum wirid-wirid auliya’ (para wali) dan shalihin (orang-orang
shalih) seperti mazhab Qadyaniyah dan Tijaniyah dan lainnya? Apakah boleh
memeganginya ataukah tidak, dan apa hukum Kitab Dalail al-Khairat?

Jawab 5: Pertama: Telah terdapat di dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits nash-nash
(teks) yang mengandung do’a-do’a dan dzikir-dzikir masyru’ah (yang
disyari’atkan). Dan sebagian ulama telah mengumpulkan satu kumpulan do’a dan
dzikir itu, seperti An-Nawawi dalam kitabnya al-Adzkar , Ibnu as-Sunni dalam
Kitab ‘Amalul Yaum wallailah, dan Ibnul Qayyim dalam Kitab Al-Wabil As-Shoib,
dan kitab-kitab sunnah yang mengandung bab-bab khusus untuk do’a-do’a dan
dzikir-dzikir, maka wajib bagimu merujuk padanya.

Kedua: Auliya’ (para wali) yang shalih adalah wali-wali Allah yang mengikuti
syari’at-Nya baik secara ucapan, perbuatan, maupun i’tikad (keyakinan). Dan
adapun kelompok-kelompok sesat seperti At-Tijaniyyah maka mereka itu bukanlah
termasuk auliya’ullah (para wali Allah). Tetapi mereka termasuk auliya’us
syaithan (para wali syetan). Dan kami nasihatkan kamu membaca kitab Al-Furqon
baina auliya’ir Rahman wa Auliya’is Syaithan, dan Kitab Iqtidhous Shirothil
Mustaqiem Limukholafati Ash-habil Jahiem, keduanya oleh Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyyah.

Ketiga: Dari hal yang telah dikemukakan itu jelas bahwa tidak boleh bagi
seorang muslim mengambil wirid-wirid mereka dan menjadikannya suatu wiridan
baginya, tetapi cukup atasnya dengan yang telah disyari’atkan yaitu yang telah
ada di dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah.

Keempat: Adapun Kitab Dalail al-Khairat maka kami nasihatkan anda untuk
meninggalkannya, karena di dalamnya mengandung perkara-perkara al-mubtada’ah
was-syirkiyah (bid’ah dan kemusyrikan). Sedangkan yang ada di dalam Al-Qur’an
dan As-Sunnah terkaya darinya (tidak butuh dengan bid’ah dan kemusyrikan yang
ada di dalam Kitab Dalail Al-Khairat itu).

Wabillahit taufiq. Washollallahu ‘alaa nabiyyinaa Muhammad, wa alihi
washohbihi wasallam.

Al-Lajnah Ad-Da’imah lil-Buhuts al-‘Ilmiyyah wal Ifta’:

Ketua Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz, anggota Abdullah bin Ghadyan, anggota
Abdullah bin Qu’ud.[2]



Dalam Kitab Dalail al-Khairat di antaranya ada shalawat bid’ah sebagai berikut:

Çááåã Õá Úáì ãÍãÏ ÍÊì áÇíÈÞì ãä ÇáÕáÇÉ ÔíÁ æÇÑÍã ãÍãÏÇ ÍÊì áÇíÈÞì ãä ÇáÑÍãÉ
ÔíÁ .



“Ya Allah limpahkanlah keberkahan atas Muhammad, sehingga tak tersisa lagi
sedikitpun dari keberkahan, dan rahmatilah Muhammad, sehingga tak tersisa
sedikitpun dari rahmat.”

Lafadh bacaan shalawat dalam Kitab Dalail Al-Khairat di atas menjadikan
keberkahan dan rahmat, yang keduanya merupakan bagian dari sifat-sifat Allah,
bisa habis dan binasa. Ucapan mereka itu telah terbantah oleh firman Allah:

Þá áæ ßÇä

ÈãËáå ãÏÏÇ ( ÇáßåÝ: 109)



“Katakanlah, ‘Kalau sekiranya lautan menjadi tinta untuk (menulis)
kalimat-kalimat Tuhanku, sungguh habislah lautan itu sebelum habis (ditulis)
kalimat-kalimat Tuhanku, meskipun Kami datangkan tambahan sebanyak itu (pula).”
(Al-Kahfi: 109).[3]

Dari kenyataan usulan resmi NU kepada Raja Saudi Arabia yang ingin agar
tetap dibolehkan membaca dzikir dan wiridan yang diamalkan oleh sebagian orang
NU di antaranya do’a-do’a dalam Kitab Dalailul Khiarat (tentunya termasuk pula
dzikir-dzikir aneka aliran thariqat/ tarekat), dan kenyataan fatwa ulama resmi
Saudi Arabia, maka sangat bertentangan. NU menginginkan untuk dilestarikan dan
dilindungi. Sedang ulama Saudi menginginkan agar ditinggalkan, karena
mengandung bid’ah dan kemusyrikan, sedang penganjurnya yang disebut syaikh pun
digolongkan wali syetan. Hanya saja kasusnya telah diputar sedemikian rupa,
sehingga balasan surat Raja Saudi Arabia yang otentiknya seperti tercantum di
atas, telah dimaknakan secara versi NU yang seolah misi NU itu sukses dalam hal
direstui untuk mengembangkan hal-hal yang NU maui. Hingga surat Raja Saudi itu
seolah jadi alat ampuh untuk menggencarkan apa yang oleh ulama Saudi disebut
sebagai bid’ah dan kemusyrikan.

Di antara buktinya, bisa dilihat ungkapan yang ditulis tokoh NU, KH
Saifuddin Zuhri sebagai berikut:

“Misi Kyai ‘Abdul Wahab Hasbullah ke Makkah mencapai hasil sangat memuaskan.
Raja Ibnu Sa’ud berjanji, bahwa pelaksanaan dari ajaran madzhab Empat dan faham
Ahlus Sunnah wal Jama’ah pada umumnya memperoleh perlindungan hukum di seluruh
daerah kerajaan Arab Saudi. Siapa saja bebas mengembangkan faham Ahlus Sunnah
wal Jama’ah ajaran yang dikembangkan oleh Empat Madzhab, dan siapa saja bebas
mengajarkannya di Masjidil Haram di Makkah, di Masjid Nabawi di Madinah dan di
manapun di seluruh daerah kerajaan.[4]

Apa yang disebut hasil sangat memuaskan, dan bebasnya mengembangkan Ahlus
Sunnah wal Jama’ah itulah yang dipasarkan oleh NU di masyarakat dengan versinya
sendiri. Sebagaimana pengakuan Abdurrahman Wahid, didirikannya NU itu untuk
wadah berorganisasi dan mengamalkan ajaran Ahlus Sunnah wal Jama’ah versinya
sendiri. Versinya sendiri yaitu yang memperjuangkan lestarinya tradisi mereka
di antaranya yang telah diusulkan dengan nyata-nyata bukan hanya di dalam
negeri tetapi sampai di Saudi Arabia yaitu pengamalan wirid Kitab Dalail
Al-Khairat dan dzikir-dzikir lainnya model NU di antaranya tarekat-tarekat.
Akibatnya, sekalipun ulama Saudi Arabia secara resmi mengecam amalan-amalan
yang diusulkan itu ditegaskan sebagai amalan yang termasuk bid’ah dan
kemusyrikan, namun di dalam negeri Indonesia, yang terjadi adalah sebaliknya.
Seakan amalan-amalan itu telah mendapatkan “restu” akibat
penyampaian-penyampaian kepada ummat Islam di Indonesia yang telah dibikin
sedemikian rupa (bahwa misi
utusan NU ke Makkah sukses besar dan direstui bebas untuk mengamalkan Ahlus
Sunnah wal Jama’ah) sehingga amalan-amalan itu semakin dikembangkan dan
dikokohkan secara organisatoris dalam NU. Bahkan secara resmi NU punya lembaga
bernama Tarekat Mu’tabarah Nahdliyin didirikan 10 Oktober 1957 sebagai tindak
lanjut keputusan Muktamar NU 1957 di Magelang. Belakangan dalam Muktamar NU
1979 di Semarang ditambahkan kata Nahdliyin, untuk menegaskan bahwa badan ini
tetap berafiliasi kepada NU.[5]

Setelah bisa ditelusuri jejaknya dari semula hingga langkah-langkah
selanjutnya, maka tampaklah apa yang mereka upayakan –dalam hal ini
didirikannya NU itu untuk apa-- itu sebenarnya adalah untuk melestarikan dan
melindungi amalan-amalan yang menjadi bidikan kaum pembaharu ataupun Muslimin
yang konsekuen dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah. Tanpa adanya organisasi yang
menjadi tempat berkumpul dan tempat berupaya bersama-sama secara maju bersama,
maka amalan mereka yang selalu jadi sasaran bidik para pembaharu yang
memurnikan Islam dari aneka bid’ah, khurafat, takhayul, dan bahkan kemusyrikan
itu akan segera bisa dilenyapkan bagai lenyapnya kepercayaan Animisme yang
sulit dikembang suburkan lagi. Menyadari akan sulitnya dan terancamnya posisi
mereka ini baik di dalam negeri maupun di luar negeri terutama ancaman dari
Saudi Arabia, maka mereka secara sukarela lebih merasa aman untuk bergandeng
tangan dengan kafirin dan musyrikin, baik itu kafirin Ahli Kitab yaitu Yahudi
dan Nasrani,
maupun kafirin anti Kitab yaitu PKI (Komunis) dan anak cucunya, serta
musyrikin yaitu Kong Hucu, Hindu, Budha; dan Munafiqin serta kelompok
nasionalis sekuler anti syari’at Islam ataupun kelompok kiri anti Islam.

Untuk itulah dia lahir atau dilahirkan, sepanjang data dan fakta yang bisa
dilihat dan dibuktikan, namun bukan berarti hanya untuk itu saja. Bagaimana
pula kalau ini justru dijadikan alat oleh musuh Islam untuk kepentingan
mereka?


---------------------------------

[1] Al-Arkhabil, Tahun 5, vol 8, Sya’ban 1420H Nopember 1999, LIPIA, Jakarta,
halaman 22.


[2] Fatwa Al-Lajnah Ad-Da’imah lilbuhuts al-‘ilmiyyah wal Ifta’, Darul
‘Ashimah, Riyadh, cetakan 3, 1419H, halaman 320-321.


[3] Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu, Minhajul Firqah an-Najiyah wat Thaifah
al-Manshuroh, diterjemahkan Ainul Haris Umar Arifin Thayib Lc menjadi Jalan
Golongan yang Selamat, Darul Haq, Jakarta, cetakan I, 1419H, 171-172.


[4] KH Saifuddin Zuhri, Sejarah kebangkitan Islam dan Perkembangannya di
Indonesia, PT Al-Ma’arif, Bandung, cetakan ketiga, 1981, halaman 611.


[5] Hartono Ahmad Jaiz, Mendudukkan tasawuf, Gus Dur Wali? , Darul Falah,
Jakarta, cetakan kedua, 1420H/ 2000M, halaman 121.



0 komentar:

Posting Komentar

jangan lupa koment ya,untuk saling tukar pengetahuan